ORANG bilang, jangan berhenti bermimpi. Tetapi bagi
anak petani ini, konsisten mewujudkan mimpi meraih beasiswa ke Amerika
Serikat adalah tantangan terbesar. Apalagi jika perjalanannya menggapai
cita-cita itu selalu dirundung kegagalan.
Sejak belia, Robinson Sinurat memiliki mimpi besar menampuh studi di
Negeri Paman Sam dengan beasiswa. Namun, minimnya kondisi keuangan
keluarga membuat dia kesulitan. Bahkan untuk pergi dan memulai kuliah
S-1 di Universitas Sriwijaya (Unsri) saja, orangtuanya harus meminjam
uang.
Robinson memulai perantauannya menuntut ilmu di Kota Pempek pada
2009. Kala itu dia diterima di Unsri melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Keterbatasan finansial
memaksanya mencari pekerjaan tambahan selama kuliah. Mengingat daerah
yang masih asing dan statusnya yang masih mahasiswa baru, Robinson hanya
mampu mendaftar program beasiswa di kampus. Berbekal nilai bagus sejak
SMA, Robinson pun berhasil mendapatkan beasiswa. Bahkan beasiswa itu dia
pertahankan hingga lulus menjadi sarjana.
Meski begitu, dia tetap mencari pekerjaan tambahan mengingat uang
beasiswa tidak besar guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Robinson menjadi guru di salah satu lembaga bimbingan belajar (bimbel)
untuk jenjang SD pada semester tiga. Dia lalu dipercaya mengampu kelas
bagi siswa SMP dan SMA hingga akhirnya berhenti di semester empat karena
kesibukan kuliah dan kegiatan kampus makin padat.
Di bimbel ini, Robinson bertemu teman dekat yang sudah dianggap
sebagai saudara sendiri. Sang temanlah yang memperkenalkan Robinson
dengan seseorang yang pernah mendapat beasiswa belajar di Amerika
Serikat.
"Aku merasa bahwa mimpiku itu sudah dekat. Aku dibimbing dan
disarankan untuk mendaftar. Tetapi, aku tidak lulus karena nilai bahasa
Inggrisku masih belum cukup. Tuhan menyuruhku untuk belajar lebih keras
lagi," tutur Robinson, belum
lama ini.
Ternyata, kata Robinson, mendapat beasiswa tidak sesederhana
membalikkan telapak tangan. Kegagalannya melecut semangat untuk lebih
rajin belajar bahasa Inggris meski hasilnya juga belum optimal. Walaupun
demikian, kesibukan di berbagai organisasi serta kegiatan kepemudaan
dan sosial mengantarkannya menjadi perwakilan kampus dalam beragam acara
bertaraf internasional. Kala itu, Robinson membawa nama Unsri dalam
Indonesian Young Change Maker Summit 2012 di Bandung dan menjadi ketua
delegasi dalam acara International Youth Program 2012 di Malaysia.
"Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di luar negeri. Aku
bangga menjadi perwakilan universitas dan Indonesia serta mendapat
dukungan penuh dari pihak kampus," imbuhnya.
Gagal di kesempatan pertama tidak menyurutkan semangat Robinson
menggapai mimpinya. Dia rajin bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang
yang berhasil meraih beasiswa di Amerika, serta terus mencoba
peruntungannya. Setiap tahun, setidaknya mulai 2012, Robinson selalu
berusaha mendaftar berbagai program beasiswa ke negara adidaya tersebut.
Setiap tahun juga, dia selalu gagal. Tetapi, kata Mahasiswa
Berprestasi FMIPA Unsri 2013 ini, selalu saja ada pengganti dari setiap
ketidaklulusannya menembus seleksi berbagai beasiswa ke negeri
impiannya.
"Mungkin inilah hadiah dari Tuhan bagi orang yang mau berjuang dan tidak patah semangat untuk meraih mimpinya," imbuhnya.
Robinson memaparkan, ketika gagal pada 2012, dia berhasil meraih
prestasi sebagai Wakil Duta Bahasa Provinsi Sumatera Selatan dan menjadi
delegasi kampus dalam acara
nasional bernama Forum Indonesia Muda. Tahun berikutnya, kegagalannya
diganti dengan menjadi perwakilan Indonesia pada Asian Youth Exchange
2013 dan delegasi Indonesia pada Global Peace Convention 2013 di Kuala
Lumpur.
Di tahun terakhir studinya ini pulalah Robinson aktif membuat
berbagai kegiatan sosial kepemudaan sesuai mimpi lainnya, melakukan
sesuatu untuk kampus dan lingkungan. Global Peace Volunteer Camp
Asia-Pacific Regional Camp, The Power of Rupiah Universitas Sriwijaya,
Sahur on the Road, dan Save Musi adalah beberapa contoh kegiatan sosial
yang dihelatnya.
"Kegiatan ini kulakukan supaya para pemuda dan masyarakat umum bisa saling membantu dan peduli terhadap sesama," tuturnya.
Dari segi pekerjaan, Robinson termasuk beruntung. Dia mendapatkan
posisi sebagai koordinator program kegiatan kepemudaan dan pemberdayaan
masyarakat di salah satu LSM internasional hanya lima hari setelah
wisuda pada medio 2014. Tentu saja, semangat mewujudkan mimpi kuliah di
Amerika dengan beasiswa masih menyala meski dia sudah bekerja. Namun,
seperti sebuah tradisi, dia kembali gagal ketika mendaftar di tahun
tersebut. Dan seperti tradisi pula, dia mendapat pengganti dengan
menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam acara Asia-Pacific Youth
Training on Civic Participation dan Global Media Forum 2014 di Bali.
Di titik ini, Robinson mulai putus asa dan ingin berhenti bermimpi
meraih beasiswa. Tetapi, hati kecilnya melarang dia menyerah. Tahun
berganti, Robinson pun masih berupaya mendaftar berbagai program
beasiswa. Tidak lupa, doa orangtua selalu dimintanya.
"Doa dan dukungan dari orangtuaku yang selalu menguatkanku," imbuhnya.
Ketika upayanya masih tidak membuahkan hasil, semangatnya surut.
Meski mendapat ganti sebagai salah satu dari 10 pemimpin muda Indonesia
dalam pelatihan tentang perdamaian di Filipina yaitu YSEALI United for
Peace 2015, Robinson merasa tidak layak menginjakkan kaki di Amerika.
Robinson tidak lama terpuruk. Dia akhirnya menyadari rezeki setiap
orang berbeda-beda. Mungkin, katanya, dia harus mencoba berkali-kali
sebelum meraih keberhasilan. Keikhlasan ini memantik kembali api
semangatnya. Dia kembali berjuang dan mendaftar ke program Young
Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) on Civic Engagement. Ini
adalah program berkelanjutan dari Presiden Barack Obama yang diluncurkan
pada tahun 2013 lalu untuk para pemimpin muda di negara ASEAN. Kabar
kelulusan pada program tersebut diterima Robinson tepat di hari ulang
tahunnya, 20 Juli.
"Ini adalah hadiah terindah dari Tuhan untukku. Aku sangat bahagia
dan rasanya terbayar sudah perjuangan selama ini. Penantian dan
perjuangan selama kurang lebih empat tahun ini terbayar sudah. Benar
kata pepatah bahwa tidak ada hasil yang mengkhianati usaha," paparnya.
Anak petani itu akan menetap lima minggu di negara impiannya. Dia
akan menjalani program kuliah singkat di University of Nebraska Omaha,
pada 26 September hingga 31 Oktober 2015 serta mengikuti kegiatan
penutupan program di Washington DC.
Perjalanan panjang meraih beasiswa impian mengingatkan Robinson untuk
tidak menyerah mewujudkan mimpi. Konsistensi dalam berjuang,
memperbaiki diri, belajar dari setiap kegagalan dan berdoa harus selalu
dijalani.
"Bayangkan saja kalau kegagalan yang sekarang ini adalah kegagalan
terakhir kita sehingga kita selalu bersemangat untuk tetap berusaha.
Bayangkan jugalah bahwa tinggal selangkah lagi untuk meraih mimpi itu.
Jadi selalu termotivasi untuk tetap
memelihara mimpi yang ada dan berusaha untuk meraihnya. Bermimpi, berjuang, dan berdoa," pungkasnya.